Kebudayaan Suku Bugis
Suku Bugis adalah salah satu suku yang berdomisili di
Sulawesi Selatan. Ciri utama kelompok etnik ini adalah bahasa dan
adat-istiadat, sehingga pendatang Melayu dan Minangkabau yang merantau ke
Sulawesi sejak abad ke-15 sebagai tenaga administrasi dan pedagang di Kerajaan
Gowa dan telah terakulturasi, juga
bisa dikategorikan sebagai orang Bugis. Diperkirakan populasi orang Bugis
mencapai angka enam juta jiwa. Kini orang-orang Bugis menyebar pula di berbagai
provinsi Indonesia, seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua,
Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Orang Bugis juga banyak yang merantau
ke mancanegara seperti di Malaysia, India, dan Australia.
Suku Bugis adalah suku yang sangat menjunjung tinggi
harga diri dan martabat.Suku ini sangat menghindari tindakan-tindakan yang
mengakibatkan turunnya harga diri atau martabat seseorang. Jika seorang anggota
keluarga melakukan tindakan yang membuat malu keluarga, maka ia akan diusir
atau dibunuh. Namun, adat ini sudah luntur di zaman sekarang ini.Tidak ada lagi
keluarga yang tega membunuh anggota keluarganya hanya karena tidak ingin
menanggung malu dan tentunya melanggar hukum.Sedangkan adat malu masih
dijunjung oleh masyarakat Bugis kebanyakan.Walaupun tidak seketat dulu, tapi
setidaknya masih diingat dan dipatuhi.
Salah satu daerah yang didiami oleh suku Bugis adalah Kabupaten
SidenrengRappang.Kabupaten Sidenreng Rappang disingkat dengan namaSidrap adalah salah satu kabupaten di
provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di
Pangkajene Sidenreng. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.506,19 km2 dan
berpenduduk sebanyak kurang lebih 264.955 jiwa.Penduduk asli daerah ini adalah suku Bugis yang ta’at beribadah
dan memegang teguh tradisi saling menghormati dan tolong menolong.Dimana-mana
dapat dengan mudah ditemui bangunan masjid yang besar dan permanen.Namun
terdapat daerah dimana masih ada kepercayaan berhala yang biasa disebut ‘Tau Lautang’ yang berarti ‘Orang
Selatan’.Orang-orang ini dalam seharinya menyembah berhala di dalam gua atau
gunung atau pohon keramat.Akan tetapi, di KTP (Kartu Tanda Penduduk) mereka,
agama yang tercantum adalah agama Hindu.Mereka mengaku shalat 5 waktu,
berpuasa, dan berzakat.Walaupun pada kenyataannya mereka masih menganut
animisme di daerah mereka.Saat ini, penganut kepercayaan ini banyak berdomisili
di daerah Amparita, salah satu kecamatan di Kabupaten Sidrap.
1. Bahasa Suku Bugis
Bahasa Bugis adalah bahasa yang digunakan etnik Bugis di
Sulawesi Selatan, yang tersebar di kabupaten sebahagian Kabupaten Maros,
sebahagian Kabupaten Pangkep, Kabupaten Barru, Kota Pare-pare, Kabupaten
Pinrang, sebahagian kabupaten Enrekang, sebahagian kabupaten Majene, Kabupaten
Luwu, Kabupaten Sidenrengrappang, Kabupaten Soppeng,Kabupaten Wajo, Kabupaten
Bone, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Bulukumba, dan Kabupaten Bantaeng. Masyarakat
Bugis memiliki penulisan tradisional memakai aksara Lontara. Pada dasarnya,
suku kaum ini kebanyakannya beragama Islam Dari segi aspek budaya, suku kaum
Bugis menggunakan dialek sendiri dikenali sebagai ‘Bahasa Ugi’ dan mempunyai
tulisan huruf Bugis yang dipanggil ‘aksara’ Bugis. Aksara ini telah wujud sejak
abad ke-12 lagi sewaktu melebarnya pengaruh Hindu di Kepulauan Indonesia.
2. Kepercayaan atau system religi
Orang-orang ini dalam seharinya menyembah berhala di
dalam gua atau gunung atau pohon keramat.Akan tetapi, di KTP (Kartu Tanda
Penduduk) mereka, agama yang tercantum adalah agama Hindu.Mereka mengaku shalat
5 waktu, berpuasa, dan berzakat.Walaupun pada kenyataannya mereka masih
menganut animisme di daerah mereka.Saat ini, penganut kepercayaan ini banyak
berdomisili di daerah Amparita, salah satu kecamatan di Kabupaten Sidrap.
Religi orang Bugis dalam zaman pra-Islam seperti yang
disebutkan dalam sure’ Galigo (karya sastra kuno Bugis), sebenarnya telah
mengandung suatu kepercayaan kepada satu dewa yang tunggal, yang disebut dengan
beberapa nama seperti : Patoto’e (Dia yang menentukan nasib), To-palanroe (Dia yang menciptakan), Dewata seuae (Dewa
yang tunggal), Tu-riE A’ra’na (kehendak yang tertinggi), Puang Matua(Tuhan yang
tertinggi). Waktu agama Islam masuk ke Sulawesi Selatan pada permulaan abad
ke-17, maka ajaran Tauhid dalam Islam, dapat mudah diterimadan proses itu
dipercepat dengan adanya kontak terus-menerus dengan pedagang-pedagang Melayu
Islam yang sudah menetap di Makassar, maupun dengan kunjungan-kunjungan niaga
orang Bugis ke negeri-negeri lainyang penduduknya sudah beragama Islam.
3. Sistem
Kekerabatan Suku Bugis
Dalam kalangan masyarakat Bugis, sistem kekerabatan yang
dianut adalah ade’ asseajingeng. Sistem ini menyatakan peranannya dalam hal
pencarian jodoh atau perkawinan untuk membentuk keluarga baru. Dalam penarikan
garis keturunan mereka berpedoman kepada prinsip bilateral, artinya hubungan seseorang dengan kerabat pihak kerabat
ayah dan pihak ibu sama erat dan pentingnya. Masyarakat Bugis terdiri dari dua
golongan yang bersifat eksogam,pertaliankekerabatan dihitung menurut prinsip
keturunan matrilineal, tetapi perkawinan bersifat patriokal. Dalam suatu
perkawinan, orang Bugis sangat memperhatikan uang belanja yangdiberikan dari
mempelai laki-laki. Makin besar pesta perkawinan itu ( uang belanja ), makin
mempertinggi derajat sosial seseorang, walaupun harus dibelinya dengan
kebangkrutan, atau dengan berhutang sekalipun. Penggolongan kerabat (seajing) di
kalangan orang Bugis dibedakan antara rappe atau kelompok kerabat sedarah
(consanguinity )dan sumpung lolo atau pertalian kerabat karena perkawinan
(affinity). Kerabat itu dibedakan pula atas kerabat dekat ( seajing mareppe )
dan kerabat jauh ( seajing mabela ).
Dalam masyarakat Sulawesi Selatan
ditemukan sistem kekerabatan. Sistem kekrabatan tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Keluarga
inti atau keluarga batih.
Keluarga ini merupakan yang terkecil. Dalam bahasa Bugis keluarga ini dikenal
dengan istilah Sianang , di Mandar Saruang Moyang, di Makassar
Sipa’anakang/sianakang, sedangkan orang Toraja menyebutnya Sangrurangan.
Keluarga ini biasanya terdiri atas bapak, ibu, anak, saudara laki-laki bapak
atau ibu yang belum kawin.
b. Sepupu. Kekerabatan ini terjadi karena hubungan
darah. Hubungan darah tersebut dilihat dari keturunan pihak ibu dan pihak
bapak. Bagi orang Bugis kekerabatan ini disebut dengan istilah Sompulolo, orang
Makassar mengistilkannya dengan Sipamanakang. Mandar Sangan dan Toraja
menyebutkan Sirampaenna. Kekerabatan tersebut biasanya terdiri atas dua macam,
yaitu sepupu dekat dan sepupu jauh. Yang tergolong sepupu
dekat adalah sepupu satu kali sampai dengan sepupu tiga kali, sedangkan yang
termasuk sepupu jauh adalah sepupu empat kali sampai lima kali.c. Keturunan.
Kekerabatan yang terjadi berdasarkan garis keturunan baik dari garis ayah
maupun garis ibu. Mereka itu biasanya menempati satu kampung. Terkadang pula
terdapat keluarga yang bertempat tinggal di daerah lain. Hal ini bisanya
disebabkan oleh karena mereka telah menjalin hubungan ikatan perkawinan dengan
seseorang yang bermukim di daerah tersebut. Bagi masyarakat Bugis, kekerabatan
ini disebut dengan Siwija orang Mandar Siwija, Makassar menyebutnya dengan
istilah Sibali dan Toraja Sangrara Buku.
c. Pertalian
sepupu/persambungan keluarga. Kekerabatan ini muncul setelah adanya hubungan kawin
antara rumpun keluarga yang satu dengan yang lain. Kedua rumpun keluarga
tersebut biasanya tidak memiliki pertalian keluarga sebelumnya. Keluraga kedua
pihak tersebut sudah saling menganggap keluarga sendiri. Orang-orang Bugis
mengistilakan kekerabatan ini dengan Siteppang-teppang, Makassar Sikalu-kaluki,
Mandar Sisambung sangana dan Toraja Sirampe-rampeang.
d. Sikampung. Sistem kekerabatan yang terbangun karena
bermukim dalam satu kampung, sekalipun dalam kelompok ini terdapat orang-orang
yang sama sekali tidak ada hubungan darahnya/keluarga. Perasaan akrab dan
saling menganggap saudara/ keluarga muncul karena mereka sama-sama bermukim
dalam satu kampung. Biasanya jika mereka berada itu kebetulan berada di
perantauan, mereka saling topang-menopang, bantu-membantu dalam segala hal
karena mereka saling menganggap saudara senasib dan sepenaggungan. Orang Bugis
menyebut jenis kekerabatan ini dengan Sikampong, Makassar Sambori, suku Mandar
mengistilakan Sikkampung dan Toraja menyebutkan Sangbanua.
Kesemua kekerabatan yang disebut di atas terjalin erat
antar satu dengan yang lain. Mereka merasa senasib dan sepenanggungan. Oleh
karena jika seorang membutuhkan yang lain, bantuan dan harapannya akan
terpenuhi, bahkan mereka bersedia untuk segalanya.
Adat Pernikahan
Dalam
sistem perkawinan adat Bugis terdapat perkawinan ideal:
1.Assialang Maola
Ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat kesatu, baik dari pihak ayah
maupun ibu.
2. Assialanna Memang
Ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat kedua, baik dari pihak ayah
maupun ibu.
3. Ripaddeppe’ Abelae
Ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat ketiga, baik dari pihak ayah
maupun ibu atau masih mempunyai hubungan keluarga.
1.Assialang Maola
Ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat kesatu, baik dari pihak ayah
maupun ibu.
2. Assialanna Memang
Ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat kedua, baik dari pihak ayah
maupun ibu.
3. Ripaddeppe’ Abelae
Ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat ketiga, baik dari pihak ayah
maupun ibu atau masih mempunyai hubungan keluarga.
Adapun
perkawinan – perkawinan yang dilarang dan dianggap sumbang (salimara’):
1. perkawinan antara anak dengan ibu / ayah
2. perkawinan antara saudara sekandung
3. perkawinan antara menantu dan mertua
4. perkawinan antara paman / bibi dengan kemenakan
5. perkawinan antara kakek / nenek dengan cucu
1. perkawinan antara anak dengan ibu / ayah
2. perkawinan antara saudara sekandung
3. perkawinan antara menantu dan mertua
4. perkawinan antara paman / bibi dengan kemenakan
5. perkawinan antara kakek / nenek dengan cucu
4. Sistem
Ekonomi Suku Bugis
Kebudayaan
Maritim Bugis tidak hanya mengembangkan teknik dan system
Pelayaran.Tetapi juga telah memilih hukum
niaga dalam pelayaran yang disebut Ade Anopoliping Bicaranna Pabboluebdan yang
tertulis pada lontar oleh Amanna Gappa dalam abad 17. Sebelum perang dunia II
daerah Sulawesi selatan adalah daerah surplus beras dan jagung .
5. Sistem
Kesenian Suku Bugis
Folklore didefinisikan sebagai perbuatan-perbuatan
(tarian), benda-benda , cerita rakyat yang belum dicatat atau dituliskan
(folktale). Contoh beberapa folktale yang berkembang diantara orang-orang Bugis
adalah Pocci-Tana,asal-usul kota (Toraja dan Luwu, Sinjai, Enrekang dan
Mangkendek, dan Bulukamba), pemmali (tentang larangan atau pantangan).
Alat musik:
1.Kacapi(kecapi)
Salah satu alat
musik petik tradisional Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis, Bugis Makassar
dan Bugis Mandar. Menurut sejarahnya kecapi ditemukan atau diciptakan oleh
seorang pelaut, sehingga bentuknya menyerupai perahu yang memiliki dua dawai,diambil karena penemuannya
dari tali layar perahu. Biasanya ditampilkan pada acara penjemputan para tamu,
perkawinan, hajatan, bahkan hiburan pada hari ulang tahun.
2. Sinrili
Alat musik yang mernyerupai biaola cuman kalau biola di
mainkan dengan
membaringkan di pundak sedang singrili di
mainkan dalam keedaan pemain
duduk dan alat diletakkan tegak di depan
pemainnya.
3. Gendang
Musik perkusi yang mempunyai dua bentuk dasar yakni bulat
panjang dan bundarseperti rebana.
4. Suling
Suling bambu/buluh, terdiri dari tiga jenis, yaitu:
• Suling panjang (suling lampe), memiliki 5
lubang nada. Suling jenis ini telah punah.
• Suling calabai (Suling ponco),sering
dipadukan dengan piola (biola) kecapi dan
dimainkan bersama penyanyi
• Suling dupa samping (musik bambu), musik
bambu masih terplihara di daerah
Kecamatan Lembang. Biasanya digunakan pada acara karnaval (baris-berbaris)
atau acara penjemputan tamu.
Seni Tari
• Tari pelangi; tarian pabbakkanna lajina
atau biasa disebut tari meminta hujan.
• Tari Paduppa Bosara; tarian yang
mengambarkan bahwa orang Bugis jika
kedatangan tamu senantiasa menghidangkan
bosara, sebagai tanda kesyukuran
dan kehormatan
• Tari Pattennung; tarian adat yang
menggambarkan perempuan-perempuan yang
sedang menenun benang menjadi kain.
Melambangkan kesabaran dan ketekunan
perempuan-perempuan Bugis.
• Tari Pajoge’ dan Tari Anak Masari; tarian
ini dilakukan oleh calabai (waria),
namun jenis tarian ini sulit sekali ditemukan
bahkan dikategorikan telah punah.
• Jenis tarian yang lain adalah tari Pangayo,
tari Passassa ,tari Pa’galung, dan tari
Pabbatte(biasanya di gelar padasaat Pesta
Panen).
Permainan
Beberapa permainan khas yang sering dijumpai
di masyarakat Bugis ( Pinrang): Mallogo, Mappadendang, Ma’gasing, Mattoajang
(ayunan), getong-getong, Marraga, Mappasajang (layang-layang), Malonggak
Rumah Adat
Rumah bugis memiliki
keunikan tersendiri, dibandingkan dengan rumah panggung dari suku yang lain (
sumatera dan kalimantan ). Bentuknya biasanya memanjang ke belakang, dengan
tanbahan disamping bangunan utama dan bagian depan [ orang bugis menyebutnya lego
- lego
Bagaimana sebenarnya arsitektur dari rumah panggung khas bugis ini ?. Berikut adalah bagian – bagiannya utamanya :
Bagaimana sebenarnya arsitektur dari rumah panggung khas bugis ini ?. Berikut adalah bagian – bagiannya utamanya :
- Tiang utama ( alliri ). Biasanya terdiri dari 4
batang setiap barisnya. jumlahnya tergantung jumlah ruangan yang akan
dibuat. tetapi pada umumnya, terdiri dari 3 / 4 baris alliri. Jadi
totalnya ada 12 batang alliri.
- Fadongko’, yaitu bagian yang bertugas sebagai
penyambung dari alliri di setiap barisnya.
- Fattoppo, yaitu bagian yang bertugas sebagai pengait
paling atas dari alliri paling tengah tiap barisnya.
Mengapa orang bugis suka
dengan arsitektur rumah yang memiliki kolong ? Konon, orang bugis, jauh sebelum
islam masuk ke tanah bugis ( tana ugi’ ), orang bugis memiliki kepercayaan
bahwa alam semesta ini terdiri atas 3 bagian, bagian atas ( botting langi ),
bagian tengah ( alang tengnga ) dan bagian bawagh ( paratiwi ). Mungkin itulah
yang mengilhami orang bugis ( terutama yang tinggal di kampung, seperti diriku
) lebih suka dengan arsitektur rumah yang tinggi.
Bagian – bagian dari rumah bugis ini sebagai berikut :
Bagian – bagian dari rumah bugis ini sebagai berikut :
- Rakkeang, adalah bagian diatas langit – langit (
eternit ). Dahulu biasanya digunakan untuk menyimpan padi yang baru di
panen.
- Ale Bola, adalah bagian tengah rumah. dimana kita
tinggal. Pada ale bola ini, ada titik sentral yang bernama pusat rumah (
posi’ bola ).
- Awa bola, adalah bagian di bawah rumah, antara
lantai rumah dengan tanah.
Yang lebih menarik
sebenarnya dari rumah bugis ini adalah bahwa rumah ini dapat berdiri bahkan
tanpa perlu satu paku pun.Semuanya murni menggunakan kayu.Dan uniknya lagi
adalah rumah ini dapat di angkat / dipindah.
Baju Khas
Baju bodo merupakan pakaian adat masyarakat
Bugis-Makassar, terdiri dari berbagai macam warna yang dikenakan oleh perempuan
utamanya dalam acara-acara adat seperti acara pengantin dan acara-acara adat
yang lain. Tapi sudah tahu belum kalau ternyata perempuan yang memakai baju
bodo ini tidak asal memilih warna.
Menurut
orang-orang tua kita, dahulu kala ada peraturan mengenai pemakaian baju bodo
ini. Masing-masing warna manunjukkan tingkat usia perempuan yang mengenakannya.
- Warna jingga, dipakai oleh perempuan umur 10 tahun.
- Warna jingga dan merah darah digunakan oleh
perempuan umur 10-14 tahun.
- Warna merah darah untuk 17-25 tahun.
- Warna putih digunakan oleh para inang dan dukun.
- Warna hijau diperuntukkan bagi puteri bangsawan
- Warna ungu dipakai oleh para janda.
Selain
peraturan pemakaian baju bodo itu, dahulu juga masih sering didapati perempuan
Bugis-Makassar yang mengenakan Baju Bodo sebagai pakaian pesta, utamanya pada
pesta pernikahan.Akan tetapi saat ini, baju adat ini sudah semakin terkikis
oleh perubahan zaman.Baju bodo kini terpinggirkan, digantikan oleh kebaya
modern, gaun malam yang katanya modis, atau busana-busana yang lebih simpel dan
mengikuti trend. Meskipun demikian, di daerah-daerah tertentu atau
kampung-kampung bugis di luar kota yang jauh dari pengaruh budaya luar, baju
bodo masih banyak dikenakan untuk acara-acara pernikahan dan acara-acara lain.
Baju bodo juga tetap dikenakan oleh mempelai perempuan dalam resepsi pernikahan
ataupun akad nikah.Begitu pula untuk passappi’-nya (Pendamping mempelai,
biasanya anak-anak). Juga digunakan oleh pagar ayu
Hukum Adat
Di Sidrap pernah hidup seorang Tokoh Cendikiawan Bugis
yang cukup terkenal pada masa Addatuang Sidenreng dan Addatuang Rappang
(Addatuang = semacam pemerintahan distrik di masa lalu) yang bernama Nenek
Mallomo’. Dia bukan berasal dari kalangan keluarga istana, akan tetapi
kepandaiannya dalam tata hukum negara dan pemerintahan membuat namanya cukup
tersohor. Sebuah tatanan hukum yang sampai saat ini masih diabadikan di
Sidenreng yaitu: Naiya Ade’e De’nakkeambo, de’to nakkeana. (Terjemahan :
sesungguhnya ADAT itu tidak mengenal Bapak dan tidak mengenal Anak). Kata
bijaksana itu dikeluarkan Nenek Mallomo’ Suku Bugis adalah suku yang sangat
menjunjung tinggi harga diri dan martabat.Suku ini sangat menghindari
tindakan-tindakan yang mengakibatkan turunnya harga diri atau martabat
seseorang. Jika seorang anggota keluarga melakukan tindakan yang membuat malu
keluarga, maka ia akan diusir atau dibunuh. Namun, adat ini sudah luntur di
zaman sekarang ini.Tidak ada lagi keluarga yang tega membunuh anggota
keluarganya hanya karena tidak ingin menanggung malu dan tentunya melanggar
hukum.Sedangkan adat malu masih dijunjung oleh masyarakat Bugis
kebanyakan.
Walaupun tidak seketat dulu, tapi setidaknya masih
diingat dan dipatuhiketika dipanggil oleh Raja untuk memutuskan hukuman kepada
putera Nenek Mallomo yang mencuri peralatan bajak tetangga sawahnya.Dalam
Lontara’ La Toa, Nenek Mallomo’ disepadankan dengan tokoh-tokoh Bugis-Makassar
lainnya, seperti I Lagaligo, Puang Rimaggalatung, Kajao Laliddo, dan
sebagainya. Keberhasilan panen padi di Sidenreng karena ketegasan Nenek
Mallomo’ dalam menjalankan hukum, hal ini terlihat dalam budaya masyarakat
setempat dalam menentukan masa tanam melalui musyawarah yang disebut TUDANG
SIPULUNG (Tudang = Duduk, Sipulung = Berkumpul atau dapat diterjemahkan sebagai
suatu Musyawarah Besar) yang dihadiri oleh para Pallontara’ (ahli mengenai buku
Lontara’) dan tokoh-tokoh masyarakat adat. Melihat keberhasilan TUDANG SIPULUNG
yang pada mulanya diprakarsai oleh Bupati kedua, Bapak Kolonel Arifin Nu’mang
sebelum tahun 1980, daerah-daerah lain pun sudah menerapkannya.
6. Mata
Pencaharian
Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang
subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani
dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang.
Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni
bidang pendidikan.
Adat Panen
Mulai dari turun ke sawah, membajak, sampai tiba waktunya
panen raya.Ada upacara appalili sebelum pembajakan tanah. Ada Appatinro pare
atau appabenni ase sebelum bibit padi disemaikan. Ritual ini juga biasa
dilakukan saat menyimpan bibit padi di possi balla, sebuah tempat khusus terletak
di pusat rumah yang ditujukan untuk menjaga agar tak satu binatang pun lewat di
atasnya.Lalu ritual itu dirangkai dengan massureq, membaca meong palo karallae,
salah satu epos Lagaligo tentang padi.
Dan ketika panen tiba
digelarlah katto bokko, ritual panen raya yang biasanya diiringi dengan kelong
pare. Setelah melalui rangkaian ritual itu barulah dilaksanakan Mapadendang. Di
Sidrap dan sekitarnya ritual ini dikenal dengan appadekko, yang berarti adengka
ase lolo, kegiatan menumbuk padi muda. Appadekko dan Mappadendang konon memang
berawal dari aktifitas ini.
Bagi komunitas Pakalu, ritual mappadendang mengingatkan
kita pada kosmologi hidup petani pedesaan sehari-hari.Padi bukan hanya sumber
kehidupan.Ia juga makhluk manusia. Ia berkorban dan berubah wujud menjadi padi.
Agar manusia memperoleh sesuatu untuk dimakan, yang seolah ingin menghidupkan
kembali mitos Sangiyang Sri, atau Dewi Sri di pedesaan Jawa, yang diyakini
sebagai dewi padi yang sangat dihormati.
7. Peralatan
Hidup
Alat-alat yang digunakan untuk mencari nafkah (mata
pencaharian), mencakup alat pencaharian hidup di laut seperti Perahu dan
alat-alat penangkap ikan.Ada beberapa jenis perahu yang berasal dari suku
Bugis, yaitu Perahu Pinisi (perahu dagang dengan ukuran sangat besar), Lambo’/ palari
(perahu dagang yang ukurannya lebih kecil dari Pinisi), Lambocalabai (Perahu
dagang yang bentuknya seperti kapal-kapal biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar